Selasa, 24 Juni 2008


TAN MALAKA DAN BUKU-BUKU

Oleh : Purwoko

Meskipun namanya tidak banyak dikenal, namun Tan Malaka merupakan satu dari sekian banyak pahlawan nasional bangsa Indonesia. Pengakuan ini tersurat dalam Kepres no 53 tahun 1963, pada masa Presiden Sukarno. Banyak karya Tan Malaka yang terdokumentasikan. Pandangan Tan Malaka mengenai pepustakaan ini, diambilkan dari salah satu bukunya yang terkenal, yang menjadi magnum opusnya, MADILOG (Materialisme, Dialektika dan Logika). Buku ini ditulis dalam jangka waktu 8 bulan, atau 720 jam, dengan rata-rata 3 jam sehari.

Dalam bab mengenai perpustakan, Tan Malaka menuliskan kisah tentang Leon Trotsky, yang membawa buku-buku dalam pembuangannya selama di Alma Ata. Selain itu Tan Malaka juga menyebutkan bagaimana Moh Hatta dengan peti-peti bukunya selama dipembuangan. Tan Malaka mengenang itu dan menyatakan selalu gagal jika ingin melakukan hal serupa.
Satu pernyataan menarik Tan Malaka adalah “bagi seseorang yang hidup dengan pikiran yang mesti disebarkan baik dengan pena maupun dengan mulut, diperlukan pustaka yang cukup.’

Penulisan bab mengenai perpustakaan, atau lebih tepatnya mengenai pustaka, oleh Tan Malaka dimaksudkan untuk menandaskan, bahwa dalam buku ini (MADILOG) Tan Malaka tetap menggunakan berbagai rujukan dalam penulisannya. Diakui memang, dalam buku ini tidak ada satu bab khusus mengenai daftar pustaka. Bahkan ada beberapa point yang kadang hilang, … maklum dalam penulisannya Tan Malaka hanya mengandalkan ingatan dan pemahaman, tanpa menghadapi koleksi rujukannya langsung. Cerdas…
Dalam pembuangan yang pertama, 22 maret 1922, Tan Malaka diiringi buku-buku yang cukup, meskipun tidak lebih dari satu peti besar. Mulai dari Quran, Bible, Budisme, Konfusianisme, Darwinisme, ekonomi, sosial, komunisme, liberal, demokrasi dan lain sebagainya. Namun semua itu terpaksa ditinggalkan di Belanda, karena ketika ingin ke Moskow lewat Polandia, yang mana Polandia sangat memusuhi komunisme, dikhawatirkan dengan adanya buku-buku tersebut, akan dapat dibaca kemana arah pemikiran Tan Malaka. Dalam perjalanan hidupnya di negeri orang, berkali kali Tan Malaka di geledah. Pernah pada satu saat sebuh buku kamus bahasa nggris pun di geledah bahkan sampai ke sampulnyapun diteliti. Sewaktu di Singapura Tan Malaka sangat sedih ketika untuk menjadi anggota perpustakaan pun tidak mampu hanya karena miskin.
Razia terhadap Tan Malaka, kadangkala harus meninggalkan akhir yang tragis. Pustaka Tan Malaka harus hilang, dicuri oleh lailong (tukang copet). Namun demikian, karena sedemikian kuatnya semangat Tan Malaka untuk memiliki koleksi, Tan Malaka pun rela jika harus mengurangi pakaian ataupun makanan.
Ketika Tan Malaka berpisah dengan buku-bukunya, tidak membuatnya menjadi patah semangat. Tan Malaka menggunakan model jembatan keledai dalam mengingat pokok-pokok bahasan dalam buku yang dia miliki. Hingga kemudian muncul gabungan huruf yang aneh dalam catatannya. AFIA-GUMMI, ONIFMAABYCI AIUDGALOG, yang kadang mirip bahasa Sansekerta. Polisi di Manila dan Hongkong pernah dibuat pusing oleh koleksi jembatan keledai Tan Malaka ini.
Pustaka merupakan hal yang sangat penting bagi Tan Malaka, namun selama perjuangannya membuktikan bahwa kehilangan pustakapun tidak membuat surut langkah dalam berjuang. Bagi Tan Malaka otak mesti di dayagunakan untuk menghafal dan memahami. Hingga dalam perjuangan tidak disibukkan dengan beban-beban material.

Sumber : (http://purwoko.staff.ugm.ac.id/)

1 komentar:

  1. Masukan untuk Tan Malaka Community: Awal Desember 2014 lalu saya ke Rumah Tan malaka di Pandam Gadang Suliki. Saya rumah beliau tidak terurus lantainya sudah banyak yang lapuk. Sepertinya Pamkab 50 Kota kurang perhatian dengan Perpustakaan yg merangkap rumah Tan malaka

    BalasHapus