Selasa, 24 Juni 2008



HAMKA DAN TAN MALAKA

Februari ini, Sumatra Barat “gempar” dengan dua tokoh tersebut–Hamka dan Tan Malaka. Keduanya, diperhelatkan–walaupun beda situasi oleh orang-orang yang rindu dengan sosok mereka berdua. Pengikut Hamka bergembira merayakan ulang tahun ke-100 sang Ulama Hamka 17 Februari 1908-17 Februari 2008. Diskusi serta seminar mengenai Hamka begitu semarak di seantero Sumatra Barat ini–mungkin juga di Indonesia. Sedangkan Tan Malaka, dua hari sesudah perayaan Hamka–19 Februari 2008 diadakan perenungan kematiannya. Walaupun tak banyak, tetapi ada beberapa komunitas yang melakukan napak tilas pemikiran Tan Malaka. Mereka berdua adalah generasi Minangkabau yang dibesarkan di tengah kepungan kolonialisme. Keduanya sama-sama aktif dalam pergerakan revolusioner, meskipun berbeda cara pandang.

Tan Malaka alias Ibrahim Datuk Tan Malaka lebih condong ke pergerakan revolusioner kiri dan terpengaruhi oleh pemikiran Marx serta Lenin. Walaupun begitu, ia tetap teguh dengan pendirian Islamnya. Terbukti ketika ia mendukung pendapat Cokroaminoto tentang penggabungan Sosialisme dan Pan-Islamisme. Keduanya, menurut Tan Malaka, sama-sama bersinergi tentang pencapaian “Kemerdekaan 100%”–cita-cita yang didekap erat oleh Tan Malaka sampai akhir hayatnya di tepi Kali Brantas.

Hamka pun begitu. Pribadinya tercipta dari galibnya adat istiadat Minangkabau yang seenaknya dijadikan kambing hitam bagi pemuka-pemukanya. Dapat dilihat pada novel-novelnya seperti “Merantau Ke Deli”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dll. Ia selalu memberontak dari peraturan adat, bukannya benci tetapi itulah suatu kepeduliannya terhadap ranah kampung halamannya. Ideologi Islam amat berakar di hati Hamka. Sampai-sampai, ia lebih memilih mengundurkan diri dari jabatan pimpinan MUI ketimbang harus meralat keputusannya tentang pengharaman orang Islam merayakan hari besar agama lain, perkawinan beda agama dsb. Keyakinan Islamnya yang revolusioner yang mengarahkannya ke penjara. Namun, seperti pemikir-pemikir lain, penjara bukanlah tempat ongkang-ongkang kaki, tetapi penjara adalah paviliun yang “aman” untuk mengembangkan dan melanjutkan pemikiran-pemikiran yang belum terselesaikan.

Tetapi, ada catatan yang mesti kita garis merah. Saya sebenarnya benci dengan perayaan nama besar si A, atau nama besar si B. Kita jadi tersekat dengan nama besar mereka. Akibatnya fatal, kita pun mengkultuskan individu-individu itu sebagai dewa. Sebenarnya, garis pemikiran Tan Malaka maupun Hamka tak cukup hanya terbentur pada konteks diskusi atau seminar, tetapi memang diaplikasikan sesuai kadarnya.

Namun, saya sedikit skeptis dengan hal ini. Pemikiran kita terhambat pada pemikiran strukturalis kapital. Sebenarnya, kita adalah bangsa yang bodoh dan tidak peduli dengan sejarah. Saat kita terkooptasi dengan diskusi dan seminar-seminar, orang-orang Malaysia sibuk membantu pembangunan museum Hamka di Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat. Malaysia pula yang mencetak ulang buku-buku karangan Hamka dan dijadikan bacaan wajib bagi pelajar di Malaysia. Sedangkan kita, apa yang telah kita perbuat?

Dan kita masih lantang mengumpat ketika Malaysia kita tuduh sebagai maling warisan budaya Indonesia? Anggap saja–dalam pemeliharaan aset kesusastraan, seni dan budaya kita kalah dengan negri tetangga kita itu. Lantas mau bilang apa?

Hamka dan Tan Malaka toh sudah jadi kenangan. Dua tokoh revolusioner yang sebenarnya sudah bisa dijadikan percontohan bahwa Indonesia seharusnya bermental progresif dan revolusioner. Tidak jalan di tempat atau monoton sebab Hamka maupun Tan Malaka tak mengajarkan sebuah kemonotonan

(http://mywritingblogs.com/sastra/2008/02/26/hamka-dan-tan-malaka/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar