Senin, 14 September 2009

KERANGKA TAN MALAKA DITERBANGKAN KE JAKARTA

Kediri, Padek- Sebuah makam yang diduga berisi kerangka tokoh pergerakan kemerdekaan Tan Malaka di desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri kemaren dibongkar. Pembongkaran yang dihadiri camat Semen Agus Suntoro, Kepala Desa Selopanggung Zairin dan Kapolres Kediri AKBP Benyamin itu membutuhkan waktu sekitar 6 jam.

Seluruh kerangka yang diambil dari makam yang berada di lereng gunung Wilis itu kemudian dibawa ke Jakarta untuk tes DNA. “Prosesnya diperkirakan membutuhkan waktu sekitar tiga minggu”. Tes DNA itu berbeda dengan tes DNA pada umumnya,” ujar ketua Tim Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) dr Djaja Surya Atmadja kepada Radar Kediri (Group Padang Ekspres) disela pembongkaran.

Turut hadir sejarawan UI Dr Asvi Warman Adam, Wakil Bupati (Wabup) Bogor Karyawan Faturahman Kamarudin dan beberapa anggota Tim pemcarian makam Tan Malaka. Menurut Djaja, tes DNA itu berbeda karena Tan Malaka tidak memiliki keturunan. Orang tuanya Rasyad Bagindo Malano dan Sinah, sudah meninggal. Satu-satunya garis keluarga yang masih tersisa adalah Zulfikar Kamarudin. Dia adalah anak dari adik laki-laki Tan Malaka, Kamarudin Rasyad. Dua saudara Zulfikar juga sudah meninggal.

Karena itu, Tim dokter akan mencocokan sampel DNA kerangka tersebut dengan DNA Zulfikar.”Ini tes DNA YSDR, seperti tes DNA yang dilakukan kepada mantan Presiden Amerika Thomas Jefferson. Makanya, proses ini memakan waktu relatif lama,” terang Djaja. Zulfikar Kamarudin menyatakan lega atas pembongkaran itu. Bagaimana jika jasad yang berada di makam itu benar-benar Tan Malaka? Dia menyerahkan keputusan selanjutnya kepada pemerintah.

Seperti diwartakan, sejarawan Belanda Harry A. Poeze menyebutkan bahwa jasad Tan Malaka yang selama ini masih misteri diduga dikuburkan di Selopanggung, Kediri. Zulfikar menambahkan selama ini pihak keluarga sedikit kecewa atas perlakuan pemerintah. Padahal, Tan Malaka sudah mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 53 tahun 1963.

Sumber : Harian Padang Ekspres, Edisi Minggu 13 September 2009

Read More..

Rabu, 04 Maret 2009

Press Release Panitia Peringatan 112 tahun dan 60 tahun hilangnya Pahlawan Nasional Tan Malaka


Peringatan pada tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, karena telah terbentuk panitia nasional pencari makam almarhum Tan Malaka. Panitia ini didukung oleh Tim Penasehat dari Kementerian Sosial Republik Indonesia, Dr. Adnan Buyung Nasution, Prof. Zulhasril Nasir, MA., Dr. Asvi Warman Adam, Imam Suroso, Dr. Aulia Rahman, dll. Sementara kepanitiaan diketuai oleh Zulfikar Kamarudin (Keponakan Tan Malaka) dan dibantu oleh DP. Asral (Ketua LPPM Tan Malaka).

Acara inti peringatan tahun ini adalah penggalian makam almarhum yang diindikasikan sudah 99% adalah makam Tan Malaka, yang akan dibuktikan melalui tes DNA. Lokasi makam Tan Malaka tersebut terletak di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur. Pantia dalam persiapannya telah melayangkan surat keberbagai instansi, antara lain Kementrian Sosial, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementrian Kesehatan dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur serta Bupati Kabupaten Kediri. Penggalian makam ini rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 2009.

Kegiatan kedua adalah menerbitkan buku kenang-kenangan berupa tulisan-tulisan tokoh-tokoh sezaman dengan almarhum yang belum sempat diterbitkan dan tokoh masa kini serta generasi muda sekarang dari berbagai disiplin ilmu.

Sekilas tentang Tan Malaka

Sebagaimana diketahui bahwa almarhum Tan Malaka hilang pada tanggal 19 Februari 1949 saat mempertahankan Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 yang terancam dilikuidasi oleh Perjanjian Linggarjati dan Renville menjadi Negara-negara bagian yang didirikan Van Mook dan Van Der Plaas.

Pada bulan Maret 1963 Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Kepres No. 53 Tahun 1963, dan beliau berhak mendapat penghargaan seperti dalam setiap peringatan pahlawan-pahlawan bangsa. Namun, karena kurangnya pemahaman sejarah, nama Tan Malaka seringkali ditutupi dan tidak diperkenalkan kepada generasi muda. Bahkan di Ibukota Republik ini tidak dijumpai nama jalan yang bernama “Tan Malaka”. Padahal kalau dipelajari dan diteliti lebih dalam, tidak ada alasan untuk memusuhi nama Tan Malaka. Bukankah yang mengagas Republik ini untuk pertama kalinya adalah almarhum Tan Malaka sendiri, dalam bukunya yang berjudul “naar de republiek indonesische” (Menuju Republik Indonesia) pada tahun 1925. Buku tersebut dicetak di Malaya dan diselundupkan masuk ke Indonesia melalui jemaah haji.

Dalam pelariannya selama 20 tahun di luar negeri pada saat yang tepat beliau hadir dan berada di tanah air ikut bersama pemuda mendorong terwujudnya proklamasi 1945 dengan nama Ilyas Husein, tokoh pemuda dari Banten. Pada pertemuannya dengan Presiden Soekarno, Soekarno merasa menemukan persamaan pandangan dan cita-citanya dengan Tan Malaka, sehingga Soekarno pada saat itu mengatakan kepada Tan Malaka “Bila terjadi sesuatu pada diri saya (tewas atau ditahan musuh), maka pimpinan revolusi akan saya serahkan kepada saudara (Tan Malaka).”

Pada bulan Januari 1946, Tan Malaka mensponsori dan mendirikan Persatuan Perjuangan yang beranggotakan parpol-parpol serta laskar-laskar bersenjata berjumlah 141 organisasi yang diikat dengan 7 minimum program. Salah satu dari program tersebut adalah “berunding atas dasar pengakuan kemerdekaan 100%”. Program ini didukung penuh 100% oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan mengatakan “Lebih baik kita di bom atom daripada merdeka kurang dari 100%.” Menghadapi oposisi Persatuan Perjuangan ini, kabinet Syahrir jatuh dan nyaris tidak terpilih lagi, hanya karena Soekarno-Hatta lah kemudian Syahrir dapat membentuk kabinet lagi. Setelah Syahrir diangkat lagi menjadi perdana menteri, sebelum dia berunding, Tan Malaka ditangkap di Madium dan ditahan selama 2,5 tahun.

Pada tahun 1948 Tan Malaka dibebaskan oleh Perdana Menteri M. Hatta. Tapi isu yang berkembang, Tan Malaka dibebaskan Hatta untuk menghadapi Muso yang kemudian terkenal dalam pemberontakan Madium. Terhadap isu tersebut, Tan Malaka mencounter

”Seolah-olah mengimbangi PKI Muso itu adalah urusan kami sendiri. Kalau PKI menunjukan kekuatan pada Belanda, maka dengan segala daya upaya akan kami Bantu, walaupun bantuan itu tiada diminta kepada kami bahkan meskipun seandainya ditolak.

Dalam hal ini tidak perlulah rasanya kami dikeluarkan dari penjara buat membantunya. Sendirinya kami akan mendapat jalan. Tetapi karena aksi PKI Muso ditujukan pada Pemerintah Republik yang ada sekarang, maka pertama kali urusan dan kewajiban Pemerintah inilah pula membela kekuasaanya (authoritynya). Tak bisa dua kekuasaan tertinggi dalam satu Negara.

Rakyat harus tahu, pemerintah mana yang harus diikutinya. Berhubung dengan inilah, maka Pemerintah yang adalah, yang pertama berkewajiban membela kekuasaannya, walaupun hanya untuk membela diri para anggotanya saja.

Garis politik kami cukup jelas buat kawan dan lawan. Apabila setelah mendapat ujian selama hampir 3 tahun ini. Apabila kami dalam keadaan sunyi-terasing serta sering dalam bahaya dan dikelilingi oleh beberapa kawan seperjuangan saja, tetap memegang garis-bermula; masakan kami sesudah mendapatkan persetujuan dan kawan dari berbagai pihak, akan meninggalkan garis politik yang sudah mengalami ujian itu. Untuk melanjutkan perjuangan kami di atas garis itu tiadalah perlu kami berjual;-beli dalam hal

politik dan moral.”

Setelah kemudian Tan Malaka menganjurkan berdirinya Partai Murba, tidak lama kemudian Belanda menyerang Yogyakarta dan menangkap Soekarno-Hatta. Tan Malaka memilih tempat bergerilya di Jawa Timur memimpin Gerakan Pembela Proklamasi 45 (GPP) yang kemudian berubah menjadi Gerilya Pembela Proklamasi. Suasana politik di Jawa Timur ketika itu terpecah belah akibat kompromi yang dilancarkan pemerintah, Tan Malaka tidak hanya berhadapan dengan Belanda, tetapi juga dengan NICA, Negara Bagian Jawa Timur bentukan Van der Plaas dan orang-orang Republik yang siap bekerjasama dengan Belanda. Ditengah keadaan seperti itulah Tan Malaka hilang dan gugur di medan juang. Suasana itu sangat berbeda sekali dengan keadaan 10 November 1945 yang kompak 100% menghadapi agresi, dimana Tan Malaka juga hadir di sana.

Demikianlah, kita berdoa semoga almarhum suaranya akan lebih keras lagi dari dalam kubur.


Read More..

Rabu, 31 Desember 2008

Mengapa Musso Pulang

Oleh : Susanto Pudjomartono


PERISTIWA Madiun, 19 September 1948, masih menyisakan sejumlah tanda tanya. Hingga kini masih terjadi pro-kontra tentang hakikat peristiwa itu. Partai Komunis Indonesia (PKI) menyatakan itu bukan pemberontakan atau kudeta, tetapi terpancing manuver Amerika Serikat yang ingin menghancurkan gerakan komunis di Indonesia. Pemerintah secara resmi menganggapnya pemberontakan, karena para pelakunya menyatakan mengganti pemerintah nasional di bawah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta serta membentuk pemerintahan front nasional di bawah kepemimpinan PKI.

Pemicu utama pemberontakan itu adalah kedatangan Musso, tokoh komunis yang tinggal di Moskow sejak 1920-an, pada awal Agustus 1948. Mengapa Musso, setelah berpuluh tahun bermukim di Rusia, pulang ke Indonesia?

Sejumlah penulis menerka-nerka maksud kedatangan Musso. Penulis Amerika, A.C. Brackman, dalam bukunya Indonesian Communism: A History, dan Ruth McVey, dalam bukunya The Soviet View of the Indonesian Revolution, menuduh Musso kembali ke Indonesia atas perintah Rusia dengan sebuah rencana yang disusun di Moskow.

Dari Indonesia, Soe Hok Gie (almarhum), dalam skripsinya yang dibukukan, Orang-orang di Persimpangan Jalan (1997), menyimpulkan Musso menuliskan rencananya di luar negeri dan datang dengan sebuah konsep yang tegas. Menurut Himawan Soetanto, mantan Kepala Staf Umum ABRI, dalam bukunya Madiun, dari Republik ke Republik (2006), ”Maksud kedatangannya (Musso) di Indonesia tidak dapat diketahui, perintah atau kekuasaan dari Moskow, tetapi menjadi jelas kedatangannya membawa serta ’garis komunis internasional ortodoks’, garis keras Zhdanov.”

Beruntung sejarawan Rusia, Larissa Efimova, meneliti dokumen dari Central Committee of the All Union Communist Party (Bolshevik)—CCAUCP (B)—yang telah dideklasifikasi, khususnya arsip dari Departemen Luar Negeri Komite Sentral AUCP. Efimova menuliskan hasil risetnya dalam berkala Indonesia and the Malay World, Juli 2003, dengan judul ”Who Gave Instructions to the Indonesian Communist Leader Musso in 1948?”

Dari berbagai dokumen itu, Efimova, yang mengajar di Moscow State Institute of International Relations (MGIMO), tidak bisa melacak adanya ”instruksi Moskow” pada Musso. Namun dari situ bisa dilacak sumber dan gagasan yang kemudian dikembangkan Musso menjadi konsep ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.

Musso ke Indonesia pada 11 Agustus 1948, menyamar sebagai sekretaris Soeripno, Kepala Perwakilan RI di Praha. Sepekan setelah kembali ke Indonesia, Musso bertemu dengan Presiden Soekarno, yang telah dikenalnya semasa Soekarno muda tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Ketika Bung Karno meminta Musso membantu perjuangan Indonesia, Musso menjawab, ”Ik kom hier om orde te scheppen” (”Saya datang ke sini untuk menertibkan keadaan”). Suasana Indonesia waktu itu, tiga tahun setelah merdeka, sangat kacau. Konflik terjadi di antara berbagai kelompok dan partai yang berebut kekuasaan, terutama antara golongan Islam, nasionalis, dan kiri. Masing-masing kelompok mempunyai kekuatan bersenjata (laskar), TNI juga disusupi berbagai macam ideologi. Silih berganti kabinet jatuh, dan perdana menteri berganti.

Berbagai masalah tambah meruwetkan keadaan, antara lain saling tuduh antara mereka yang dianggap kolaborator Jepang dan Belanda, rencana pemerintah mengurangi jumlah tentara (reorganisasi dan rasionalisasi), serta munculnya Tan Malaka yang memimpin Front Demokrasi Rakyat (FDR). Berbagai kelompok itu bertikai dalam menyikapi Perjanjian Renville dan menghadapi Belanda yang mau menjajah lagi.

Masalah lain, kehadiran pasukan Siliwangi, yang dipaksa mundur dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, tak bisa diterima sebagian orang, sehingga sering terjadi penculikan dan konflik bersenjata. Setiba di Indonesia, Musso, yang diakui mewakili Kominform (nama semula Komintern—Komunis Internasional), segera mengkonsolidasi organisasi gerakan komunis yang dinilai kurang radikal. Dalam tiga pekan ia berhasil menyatukan tiga partai kiri: Partai Buruh, Partai Sosialis, dan Partai Komunis Indonesia, menjadi satu PKI.

Sejumlah organisasi kiri resmi bergabung, misalnya SOBSI (buruh) dan BTI (petani). Dalam Politbiro PKI yang baru Musso menjabat sekretaris jenderal. Dalam semalam, anggota PKI, yang semula 3.000 orang, menjadi 30 ribu orang. PKI juga memiliki kekuatan tempur yang kuat, terutama di Pesindo, sayap pemuda PKI. Beberapa tokoh secara terbuka mengakui mereka anggota PKI bawah tanah, seperti Amir Sjarifoeddin dan Tan Ling Djie.

Penyatuan ketiga partai itu satu dari tiga konsep Musso yang disebut ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia” tadi. Dua konsep Musso yang lain: perlu dibentuknya sebuah pemerintahan front nasional serta penyesuaian garis partai dengan garis keras Komintern, ”doktrin Zhdanov”.

Pengaruh Musso sangat kuat, dan konsepnya didukung seluruh jajaran PKI. Rupanya, untuk melaksanakan konsep itulah kelompok muda PKI di bawah pimpinan Ketua Pesindo, Soemarsono, pada 19 September 1948 merebut kekuasaan di Madiun dan mendeklarasikan terbentuknya sebuah pemerintahan front nasional yang dikuasai PKI. Pemerintahan di beberapa kota lain, seperti Ponorogo, Magetan, dan Pacitan, juga direbut PKI.

Dalam perebutan itu, mereka yang dianggap lawan PKI, khususnya pejabat pemerintah, pemimpin nasionalis, dan Masyumi, dibantai. Musso dan sejumlah pemimpin PKI, yang berada di luar kota, buru-buru bergabung dengan Soemarsono di Madiun, dan bendera merah PKI pun dikibarkan di daerah-daerah yang dikuasai PKI; Purwodadi, Blora, Cepu, Pacitan, dan Trenggalek.

Reaksi pemerintah nasional cepat dan tegas. Pada 19 September malam, Presiden Soekarno berpidato di RRI Yogyakarta, mengungkapkan terjadinya kup di Madiun, yang bermaksud mendirikan sebuah pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Musso, awal dari usaha merebut pemerintahan. Soekarno menawari rakyat untuk memilih: ”Ikut Musso dan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta.”

Panglima TNI Jenderal Soedirman diperintahkan menumpas pemberontakan itu. Pasukan Siliwangi yang melaksanakan tugas tersebut. Satu setengah jam setelah Presiden Soekarno berpidato, Musso membalas dengan berpidato lewat Radio Gelora Pemuda Madiun, mengajak rakyat melawan Soekarno-Hatta, ”budak imperialis”.

Kejadian di Madiun, kata Musso, adalah sinyal bagi rakyat untuk merebut kekuasaan negara. Penumpasan pemberontakan PKI oleh pasukan Siliwangi tidak berjalan lama. Dalam sebelas hari Madiun dapat direbut kembali, dan dalam tiga bulan seluruh kekuatan pemberontak ditumpas. Musso tertembak mati, sedangkan Amir Sjarifoeddin dan sebelas pemimpin PKI lainnya ditangkap dan dihukum mati di Karanganyar, Surakarta, atas perintah Gubernur Militer Surakarta Kolonel Gatot Soebroto.

Sejarawan Australia, M.C. Ricklefs, memperkirakan setidaknya 8.000 orang tewas akibat pemberontakan Madiun. Apakah konsep Musso itu instruksi Moskow? Efimova menemukan beberapa hal penting dari arsip yang diteliti. Salah satu tugas Musso di Moskow, ternyata, membuat laporan tentang perkembangan gerakan komunis di Indonesia.

Pada 23 Januari 1948, Musso dalam ”Catatan tentang Situasi di Indonesia” melaporkan kepada Komite Sentral AUCP (B) bahwa posisi kelompok sosialis dalam pemerintahan di Indonesia makin kuat. Kelompok sosialis sengaja tidak menonjolkan diri untuk menghindari serangan dari ”partai-partai reaksioner dan kelompok agama” yang anti-Soviet dan antikomunis. Hanya beberapa pemimpin Partai Sosialis dan Partai Buruh, seperti Amir Sjarifoeddin, Tamzil, dan Setiadjit, komunis yang mengaku sosialis yang ditampilkan ke depan.

Musso juga meyakinkan pemimpin Soviet, secara luas rakyat Indonesia bersimpati kepada Uni Soviet, bukan mereka yang komunis saja. ”Meski ada ancaman dari imperialis Amerika dan kelompok kanan Indonesia, kabinet Amir Sjarifoeddin pasti bisa bertahan,” kata Musso.

Celakanya, pada 23 Januari itu juga kabinet Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin bubar, dan digantikan kabinet Hatta. Esoknya, Departemen Kebijakan Luar Negeri AUCP (B) mendapat laporan dari dua pejabatnya yang mengomentari ”Catatan Musso”. Keduanya mengecam keras analisis Musso, yang terbukti tidak akurat. Mereka juga mengkritik taktik dan strategi PKI, yang mereka anggap salah tapi dibenarkan oleh Musso.

Situasi Indonesia dianggap mengkhawatirkan, sehingga dianggap perlu dilaporkan kepada pemimpin Soviet tertinggi. Maka, pada 18 Februari, sebuah laporan berjudul ”Situasi di Indonesia setelah Penandatanganan Persetujuan Belanda-Indonesia pada 17 Januari 1948” diserahkan kepada para anggota Politbiro Komite Sentral AUCP (B), seperti Stalin dan Molotov.

Laporan yang ditulis oleh Kepala Seksi Asia Tenggara Departemen Luar Negeri AUCP (B) Plishevsky berisi kritik dan analisis kesalahan PKI, antara lain mengakibatkan peralihan kekuasaan di Indonesia ke partai kanan. Di situ juga diuraikan analisis Musso pada 23 Januari yang ternyata tidak tepat. Karena laporan itulah Musso harus ke Indonesia untuk mengubah strategi dan taktik PKI.

Sebelum ke Indonesia, Musso mampir ke Praha dan tinggal beberapa pekan. Arsip-arsip yang diteliti Efinova mengungkapkan Musso cukup lama mempersiapkan rencana perubahan itu. Namun, ternyata ia sangat terpengaruh doktrin dan pengalaman partai komunis di Cina, Belanda, dan Cekoslovakia, yang tidak secara kaku menerapkan komunisme ala Soviet.

Dari Praha, Musso bertemu dan berunding dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Belanda Paul de Groot bersama Soeripno. Dari Praha pula Musso mengirimkan beberapa laporan kepada AUCP (B). Dalam laporan tertanggal 4 Mei 1948, yang berjudul ”Garis Besar dari Tugas Komunis di Indonesia”, Musso menguraikan konsep perlu disatukannya gerakan kiri di Indonesia di bawah PKI.

Jadi, mengapa Musso pulang ke Indonesia? Kecaman terhadap Musso dari para pejabat AUCP (B) membuat Musso merasa bersalah dan kehilangan muka, hingga memutuskan untuk mengubah strategi PKI, yang dituangkannya dalam konsep ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.

Musso yakin hanya dia yang mampu merealisasi konsepnya tadi. Maka ia pun kembali ke Indonesia pada 11 Agustus 1948. Ternyata Musso salah: PKI belum siap mengambil alih kekuasaan, dan terlalu meremehkan popularitas Soekarno-Hatta. Tatkala Soekarno menawarkan kepada rakyat untuk memilih Soekarno-Hatta atawa Musso, rakyat memilih Soekarno-Hatta.

Dalam waktu kurang dari tiga bulan, pemberontakan yang dipimpin Musso ditumpas. Pasukan PKI tercerai-berai para pemimpin PKI diburu dan dibunuh. Musso tertembak mati pada pertempuran kecil, 31 Oktober 1948.


*Wartawan senior, mantan Duta Besar Indonesia di Rusia

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/29/KL/mbm.20081229.KL129108.id.html

Read More..

Foto Rapat Panitia Penerbitan Buku 112 Tahun Tan Malaka

Ki-Ka : Dhuha, Berry




Ki-Ka : Rahman, Devi



Ki-Ka : Dhuha, Berry, Rahman, Devi


Read More..

Selasa, 23 Desember 2008

112 Tahun Tan Malaka

Untuk Mengenang 112 Tahun Tan Malaka yang lahir pada tanggal 2 juni 1897, maka Tan Malaka Community akan mengadakan pengumpulan artikel tentang tan malaka untuk kemudian dibukukan.
Apabila kawan-kawan menemukan artikel apa saja yang berhubungan dengan Tan Malaka, jangan ragu-ragu untuk mengirimkannya kepada kami.
Jangan lupa untuk mencantumkan sumber/atau dimuat dimana artikel tersebut.
silahkan kirimkan artikel tersebut ke email berikut :
Read More..