MENGUNJUNGI RUMAH TAN MALAKA
Oleh: Febrianti
MENCARI rumah kelahiran Tan Malaka di Nagari Pandan Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, sebenarnya cukup mudah. Ikuti saja Jalan Tan Malaka, salah satu jalan utama di Kota Payakumbuh arah ke luar
Jalan raya ini terbentang sepanjang 48 kilometer dari Pusat Kota Payakumbuh hingga ke Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh
Nagari Pandan Gadang, seperti banyak pedesaan di Ranah Minang, perbukitan yang hijau permai. Terletak di lembah di kaki bukit dengan sawah yang berundak-undak serta puluhan pohon kelapa di pinggirnya, benar-benar hijau permai. Air yang mengalir juga jernih dan dingin.
Rumah Tan Malaka hanya sekitar 100 meter menuruni jalan setapak dari jalan raya itu.
Rumah itu adalah rumah adat Tan Malaka yang dihuni turun-temurun oleh keluarganya dari pihak ibu, sesuai garis keturunan materilineal di Minangkabau.
Rumah ini terlatak di tepi sawah dan diapit puluhan pohon kelapa yang tinggi, terpencil dari rumah lainnya. Suasana begitu tenang. Di depan rumah terdapat 11 kolam ikan yang ditumbuhi teratai, namun berair jernih. Di depan rumah kelihatan bukit batu putih, ditumbuhi pinus dan perdu.
Rumah ini terletak di lembah yang subur. Suasana amat tenang, hanya suara air yang mengaliri sawah yang terdengar. Di rumah itu kini tinggal Indra Ibnur Ikatama, 38 tahun, bersama keluarganya, seorang istri bernama Erni Erlina, dengan empat anak yang paling besar 14 tahun dan paling kecil 2 tahun. Indra sehari-hari mengolah sawah, ladang, dan kolam di tanah warisan. Istrinya guru SD Negeri 01 Pandan Gadang, tak jauh dari rumah itu.
Indra adalah satu-satunya keturunan keluarga Tan Malaka dari garis ibu yang tinggal di kampung. Indra adalah cicit saudara perempuan dari ibu Tan Malaka. Ibu Tan Malaka bernama Sinah, hanya memiliki dua anak laki-laki, Ibrahim Datuk Tan Malaka (Tan Malaka) dan adiknya Kamaruddin.
Sinah hanya dua bersaudara dengan Janah, juga perempuan. Indra adalah cicit dari Janah. Beberapa cicit lainnya tinggal di daerah lain, umumnya di
“Sebagai laki-laki sebenarnya saya tidak berhak tinggal di rumah ini, membawa keluarga tinggal di sini, tapi karena tak ada lagi keluarga yang berada di kampung selain saya, saya dipaksa menghuni rumah ini, setelah ibu saya meninggal,” kata Indra.
Lahir di Surau
Rumah bagonjong milik keluarga Tan Malaka masih kokoh berdiri. Atapnya seng bergonjong 5 dengan banyak jendela berkaca patri. Beberapa kaca sudah pecah. Dindingnya kayu dan anyaman bambu. Lantainya juga kayu.
“Rumah ini dibangun sejak 1826, Tan Malaka dibesarkan sampai remaja di sini, yang pernah diganti hanya tonggak bagian bawah yang berhubungan dengan tanah karena lapuk dan atap, selebihnya masih asli dari kayu surian,” katanya.
Selain Nagari Pandan Gadang, rumah inilah satu-satunya warisan yang masih bisa dilihat berhubungan dengan Tan Malaka. Sebenarnya Tan Malaka tidak lahir di
Surau yang tak jauh dari rumah gadang itu juga tempat ia lebih banyak menghabiskan waktu “diasah” sebagai lelaki minang. Namun surau itu tak ada lagi, tinggal tanah lokasi tempatnya berdiri, yang telah berubah menjadi sawah.
Saat naik ke rumah ini, menaiki undakan setinggi 1,5 meter, ada ruang tamu dan ruang keluarga di sebelah kiri tangga. Di ruang keluarga itu ada 4 ruangan yang dulunya untuk kamar. Ruangan itu disulap jadi kamar tanpa sekat papan, tetapi hanya diberi kelambu, termasuk bekas kamar Tan Malaka di kamar utama.
Hingga saat ini kamar tempat Tan Malaka itu masih diberi kelambu, ruangannya berukuran 3 x 6 meter. Diisi tempat tidur tua dari besi.
Tidak seperti Rumah Bung Hatta di Bukittinggi yang penuh dengan benda-benda kenangan masa kecilnya, di rumah Tan Malaka hanya ada satu lukisan pensil hitam putih Tan Malaka menyamping yang selama ini kita kenal, tergantung di dinding. Di bagian bawah lukisan itu tertulis “Tan Malaka Bapak Republik dan Murba”. Lukisan itu hanya reproduksi.
Lama Tanpa Buku
Buku-buku tulisan Tan Malaka atau buku lainnya yang berhubungan dengannya atau benda-benda lainnya yang pernah digunakan Tan Malaka sama sekali tak ada di rumah itu, hingga rumah tersebut diresmikan sebagai museum dan pustaka Tan Malaka 21 Februari lalu. Namun koleksinya masih sedikit.
Di rumah ini menurut Indra, kerap berkunjung peneliti, termasuk Harry A. Poeze yang sempat tinggal di
Dulu di zaman Soeharto sejarah Tan Malaka ditutup-tutupi karena ia dikaitkan oleh pemerintah berkuasa dengan PKI dan komunis. Tak hanya keluarga Tan Malaka, penduduk Pandan Gadang pun akhirnya memilih tertutup.
“Ketika salah seorang keluarga kami bernama Abdul Muis diberi gelar Datuk Tan Malaka (lanjutan dari gelar datuk Tan Malaka), banyak tamu yang datang, termasuk sejumlah pejabat juga dari Jakarta, tapi dalam acara itu mereka bertanya-tanya seakan mengatakan Tan Malaka itu PKI dan komunis, akhirnya Abdul Muis emosi, membalas dengan kata-kata yang keras, pejabat-pejabat tersebut tidak bagus pulangnya, sejak itu hubungan keluarga kami dengan pejabat pemerintah kurang bagus,” kata Indra.
Si Anti Mistik Punya Kisah Mistik
Bagi masyarakat Pandan Gadang sendiri Tan Malaka tak hanya sekadar tokoh nasional. Tetapi juga orang yang memiliki ilmu gaib pengirim pesan yang sering menghubungi keluarganya.
“Tan Malaka sering datang ke sini, tapi tidak menampakkan wujudnya karena ia punya ‘kepandaian’ (ilmu batin-red) atau tidak, itu juga kami tidak tahu,” kata Indra.
Dikisahkan Indra, pada zaman Jepang ketika Tan Malaka dalam pelarian mungkin di luar negeri, ibunya tiba-tiba mendengar suara Tan Malaka di dalam rumah. “Den ka poi lain May, pitih balanjo di bawah banta.” (Saya hendak pergi lagi Bu, uang belanja saya taruh di bawah bantal.” Hanya suara yang terdengar, barulah ibunya sadar anaknya sebenarnya tidak di rumah, tapi anehnya ada uang di bawah bantalnya.
Pada kakek Indra, Datuk Mangkuto juga pernah terjadi hal yang aneh, kisah Indra. Pada zaman Jepang Datuk Mangkuto membawa taksi gelap ke
“Itu sering terjadi, setiap peristiwa aneh yang berhubungan dengan Tan Malaka pasti yang muncul suaranya dengan bahasa totok Pandan Gadang, dulu di surau dekat rumah, pernah dikepung Belanda seolah-olah ada mata-mata yang mengatakan di surau itu ada Tan Malaka, ternyata orang lain,” kata Indra.
Tan Malaka sering ke sini, tetapi tidak mau menampakkan wujud yang asli. Orang taunya, saat dia meninggalkan kata-kata, kepada ibunya atau anak kemenakannya.
Cerita mistik seperti ini tentu saja bertentangan dengan ajaran Tan Malaka yang tak percaya takhyul dan mengikisnya dari bangsa
“Terkait ada yang mengatakan kuburan Tan Malaka di Kediri, kami minta kuburannya dibongkar agar bisa dites DNA-nya, jika benar kami rela kuburan Tan Malaka tetap di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar