Selasa, 24 Juni 2008



MENGUAK TABIR SEJARAH TAN MALAKA
Oleh : Sri Rahayu Ningsih

PADANG - Di tanah air, tidak banyak yang tahu siapa Tan Malaka. Wajar, sebab meski telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah seorang pahlawan nasional pada tahun 1963, rezim Orde Baru berusaha mencoret namanya dari sejarah.
Di berbagai buku bacaan dan pelajaran sejarah, namanya selalu dihilangkan. Sejumlah karyanya yang diterbitkan dalam bentuk buku pun berusaha diberangus, dengan alasan memicu jiwa pemberontak dalam diri pembacanya. Salah satu buku yang berisi buah pikirannya yang sempat dilarang beredar dalah Madilog.
Di kalangan mahasiswa berbagai perguruan tinggi, selama bertahun-tahun, karena kesalahan sejarah, Tan Malaka bahkan dikenal sebagai tokoh beraliran “sesat” yang tak layak disimak keberadaan dan sumbangsihnya pada tanah air. Bahkan, sangat sulit menemukan nama Tan Malaka pada jalan-jalan yang ada di seluruh wilayah di tanah air, seperti nama-nama tokoh pejuang nasional yang diabadikan sebagai nama jalan atau gedung hampir di seluruh wilayah di Indonesia.
Padahal, menurut ahli sejarah Belanda Harry Poeze, jika ditinjau dari perspektif kekinian, pemikiran Tan Malaka yang radikal itu sebenarnya bernuansa sosialisme, sesuai dengan pola kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kini. Namun memang bertolak belakang dengan arus pemikiran kapitalisme yang meraja di Indonesia sebelum kemerdekaan.
Yang lebih mengejutkan, berbeda dengan keberadaannya di Indonesia yang menjadi kontroversi, menurut Harry, Tan Malaka adalah seorang pemikir radikal nasionalis sosialis. Dimana pemikirannya telah membawa pengaruh yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Gagasan pembentukan Indonesia sebagai negara Republik, sesungguhnya adalah gagasan Tan Malaka, yang pada saat itu dipandang layak menerima gelar sebagai Bapak Republik oleh M.Yamin. Namun sebutan itu membuat risih dwi tunggal Soekarno-Hatta. Dan akhirnya gelar tersebut dipakai Soekarno untuk dirinya sendiri. Kenyataan ini menjadi ironis. Padahal Tan Malaka pula yang merupakan pencetus perlawanan terhadap kolonialisme, berbeda dengan apa yang dipahami oleh pemimpin Indonesia yang ada pada masa itu, yang lebih memilih jalan damai dan mengikuti apa yang dimaui oleh pemerintah penjajah, dengan harapan diberikan kemerdekaan.

Meluruskan Sejarah
Meski di pentas nasional Tan Malaka adalah adalah sebuah heroisme yang dipandang gagal, ia adalah sosok yang sangat dikagumi di daerah kelahirannya, Sumatra Barat. Pejuang kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten 50 Kota, Sumbar ini, dianggap sebagai tokoh yang telah memberi inspirasi dan penyeimbang bagi pemikiran para pemimpin dan tokoh nasional pada masanya. Ia dianggap mampu mempengaruhi sejarah dengan pemikirannya yang radikal dan cenderung lurus dan revolusioner.
Untuk meluruskan sejarah dan meluruskan reputasi Tan Malaka yang selama ini berada dalam ruang yang kontroversial, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Tan Malaka, bekerjasama dengan Yayasan Perduli Perjuangan (YPP) PDRI Sumbar, pada Senin (3/1) lalu, mengadakan seminar bertajuk “Ibrahim Datuk Tan Malaka, Putra Bangsa dari Minangkabau yang Terlupakan. Menguak Tabir Sejarah dan Sisi Kepahlawanannya”. Dalam acara ini, hadir beberapa tokoh saksi mata perjuangan dan sejarawan di Sumatra Barat, bahkan Indonesia.
Dalam seminar tersebut, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, mengungkapkan sekaligus memprotes dihilangkannya nama Tan Malaka dalam buku-buku pelajaran sekolah. Di dalam buku “Album Pahlawan Bangsa”, tidak terdapat nama Tan Malaka, padahal buku ini diterbitkan tahun 1999, serta diberi kata sambutan oleh Direktur Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, Departemen Sosial dan Direktur Sarana Pendidikan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menegah Depdikbud. Dengan kata lain, menurut Asvi, pencekalan ini memang setahu, bahkan mungkin, atas anjuran kedua departemen tersebut. Namun, sayangnya, Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, tidak dapat hadir dalam acara ini.
Pada masanya, menurut Asvi, Tan Malaka adalah sosok misterius yang cukup populer. Ia selalu konsisten dengan apa yang ditulis dan dipikirkannya. Menolak berunding dengan pemerintahan imperialisme Belanda, hanya dengan satu alasan: Indonesia adalah milik bangsa Indonesia, kenapa harus berunding meminta kemerdekaan pada bangsa lain? Meski untuk itu, seumur hidupnya ia harus berkelana hidup dari penjara ke penjara, seperti tajuk buku yang ditulisnya.
Pemikiran inilah yang akhirnya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Bukan saja pihak penjajah yang akhirnya memusuhi Tan Malaka, tapi juga tokoh-tokoh pejuang seperjuangan dengannya. Beberapa orang diantaranya, bahkan berusaha menikamnya dari belakang.
Sikap dan pemikiran radikal inilah, yang akhirnya membuat banyak pihak di masanya, merasa terusik dan berkeinginan menghapus keberadaan Tan Malaka dari pentas perjuangan nasional, karena dianggap sebagai nasionalis beraliran kiri dan pemikir revolusioner yang dapat membahayakan kesatuan dan kelangsungan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Alhasil, ia harus terbuang dari tanah air karena dianggap pecundang karena pemikirannya yang dipandang melawan arus.(http://www.sinarharapan.co.id/berita/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar